Powered By Blogger

Rabu, 14 November 2012

LOVE AND DREAM


LOVE AND DREAM

Jam dinding sudah hampir menunjukkan pukul 13.10, saat pelajaran disekolah berakhir untuk hari ini. Ketika sedang membereskan buku, tiba-tiba Cathy menghampiri dan mengajakku karokean sore nanti.
“Kim, nanti sore kita karokean yuk!”
“Cuma berduakan?”
“Iya”
“Oke, jam berapa?”
“Bagaimana kalau jam…4?”
“Mmm…Iya deh, tapi kita langsung ketemu ditempat karokeannya ya?”
“Sip…ya udah, kalau gitu aku duluan ya Kim, bye..”
“Bye…”

Sepertinya hari ini aku harus pulang sendiri. Sandra yang biasanya jalan bersamaku tiap pulang sekolah sepertinya tidak masuk hari ini. Setelah berlatih tennis tadi, sepertinya badanku mau remuk, ditambah lagi terik matahari yang menyengat, membuat keringatku hampir tidak berhenti menetes. Untunglah jarak rumahku kesekolah tidak begitu jauh.
“Mama…aku pulang,”
Tidak ada yang menyahut atau pun menyambutku. Mereka semua kemana??
Hmm..ya sudahlah, akukan harus istirahat dan tidur, agar badanku fit lagi.
***

“Hua…hm…”
Mataku masih lengket, seperti tidak mau dibuka. Kucoba untuk melirik jam dinding yang hampir menunjukkan pukul setengah 4. Huhh…sebenarnya aku masih ngantuk dan ingin tidur lebih lama lagi, tapi aku sudah terlanjur berjanji dengan Cathy, lagipula aku pantang sekali ingkar janji. Aku berusaha bangkit dan pergi mandi, lalu siap-siap untuk pergi.
“Kim, kamu mau kemana?” tanya mama
“Kim ada janji sama Cathy ke karokean ma, boleh ya?”
“Iya, jangan terlalu lama, kamu jugakan harus belajar”
“Oke ma..” pamitku seraya mencium tangan mama.

Sepertinya aku akan datang sedikit terlambat. Ketika sampai, aku belum melihat tanda-tanda keberadaan Cathy, aku memutuskan untuk menunggunya dan duduk disalah satu bangku panjang dipinggir jalan, tepat disamping tempat karokean. Hampir 15 menit aku menunggunya, tapi sampai sekarang batang hidungnya pun tidak kulihat. Kuraih ponsel didalam tasku dan mencoba meng-callnya.
“Nomor yang anda tuju sedang sibuk atau berada diluar jangkauan, harap hubungi beberapa saat lagi”
“Arghh…si Cathy kemana sih!?” kucoba lagi meng-callnya untuk yang kesekian kalinya, tapi masih suara operator itu lagi yang berbicara. Kuputuskan untuk pulang dengan membawa rasa jengkel yang memenuhi kepalaku. Kalau tahu begini…aku tidak akan mengorbankan waktu tidur siangku tadi. Saat berjalan menuju kerumah, aku melihat ‘tukang burger’ langgananku, sedang nangkring dibawah pohon. Kupikir…dari pada keluar rumah tanpa mendapatkan sesuatu, lebih baik mengisi perutku dengan burger yang lezat itu. Aku membeli dua burger dan menyantapnya dibawah pohon rindang. Ketika sedang asyik dengan burgerku, tiba-tiba sebuah bola kaki menghantam kepalaku lumayan keras.
“Aww!!!” tiba-tiba kepalaku serasa dikelilingi kunang-kunang, dan pandanganku pun mulai kabur.

Selang beberapa menit…
“Hei…kau sudah sadar?” ada seseorang yang berdiri disampingku, kucoba untuk bangun dari kursi panjang ini.
“Maaf ya? Tadi aku tidak sengaja menendang bola kearahmu, sekali lagi aku minta maaf ya?” ternyata lelaki ini yang membuat kepalaku jadi memar dan mengorbankan burgerku.
“Iya” aku hanya menjawab singkat dari beberapa permintaan maafnya.
“Oh iya, perkenalkan, namaku Steve, aku orang baru dikota ini. Namamu?” lelaki itu mencoba mengakrabkan suasana dengan duduk disampingku dan menanyakan namaku lalu mengulurkan tangannya tanda ingin bersalaman. Apa ini caranya agar merasa tidak bersalah?
“Kimmy, atau Kim saja,” jawabku singkat. Entah kenapa, rasanya hari ini adalah hari tersial yang pernah kualami, dari harus mengorbankan tidur siangku, menunggu seseorang yang tidak jelas, sampai hantaman bola kaki yang membuat kepalaku jadi sedikit memar.
“Aku lupa! Aku pergi dulu ya,” aku segera pergi, demi mencegah pembicaraan yang semakin panjang. Sepertinya dia berusaha memanggilku, tapi…ku cepatkan langkahku dan pura-pura tidak mendengarnya. Dijalan…aku tertawa kecil sambil membayangkan wajah lelaki tadi. Aku merasa bersalah telah mengacuhkannya ketika dia memanggilku.Tapi…kalau dipikir-pikir, wajahnya cukup tampan dan agak ‘sedikit’ keren sih…aaaaa….apa sudah kupikirkan! Tidak-tidak! Akupun segera berlari agar lebih cepat sampai kerumah.
***

“Kim!” Sandra memanggilku dan berusaha mengejarku.
“Sandra? Kok kemarin gak masuk sekolah?” tanyaku pada Sandra.
“Duh, kemarin tuh, aku disuruh sama mama buat jemput sepupuku dibandara yang baru datang dari Malang”
“Oh…jadi gitu,” akupun segera mengajak Sandra masuk kelas, karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai.
“Anak-anak..kalian akan mendapatkan teman baru dikelas ini,” belum selesai Pak Haru bicara, semuanya gaduh, mempeributkan siapa murid barunya, perempuan atau laki-laki, keren or ya…bla bla bla.
“Harap semuanya tenang! Silahkan masuk dan perkenalkan dirimu,” anak itu pun masuk, “Hah…???” diakan…kok? Sandra yang duduk disampingku tiba-tiba mendekat.
“Kerenkan? Itu sepupu aku lo, yang ku ceritakan tadi,” kata-kata Sandra membuat terdiam.
“Perkenalkan, nama saya Steve. Saya pindahan dari SMAN-10 Malang. Saya harap kalian mau menerima saya menjadi teman kalian dan kita bisa berteman baik,” dengan senyumannya itu membuat anak perempuan semakin heboh, terutama Cathy, yang membuatku jadi mengalami hal seperti kemarin dan hari ini, huh… Steve berjalan melewatiku, ia seperti melempar senyumnya kearahku. Oh tidak! Apa dia mengenaliku dan masih ingat kejadian kemarin? Aku langsung melempar wajahku kearah depan dan tidak membalas senyumnya.
***

Bunyi bell istirahat pun berbunyi, perut yang belum sempat terisi dirumah tadi pagi juga ikut berbunyi. Aku segera mengajak Sandra pergi kekantin untuk makan sesuatu.
“San, kekantin yuk, aku lapar…”
“Iya…tapi kamu kukenalin dulu yah ke Steve?”
“Apaaaa….San, perutku gak bisa nunggu selama itu..” aku berusaha membatalkan niat Sandra yang ingin memperkenalkan aku dengan sepupunya itu.
“Kimmy sayang…sebentar aja kok…siapa tahu Steve mau pergi kekantin juga,”
“Iya deh…terserah kamu aja, tapi San, gimana mau ngajak si Steve kalau perempuan-perempuan centil itu berusaha mendekatinya seperti itu. Apalagi…salah satu dari mereka si Cathy, sekarang aku lagi bermasalah sama dia,”
“Memangnya ada apa sih antara kamu sama Cathy?”
“Sudahlah, itu tidak penting. Kita kekantin yuk San…”
“Ya udah deh, yuk..” aku dan Sandra pun pergi menuju kantin.

Tiba-tiba dari belakang, seseorang memanggil Sandra. Hah!! Si Steve!
“San! Kok tega sih ninggalin,”
“Eh, Steve, sorry…soalnya tadi kulihat, kamu sibuk sama penggemar-penggemar baru kamu” hahh?? Udah kayak seleb aja pakai ‘penggemar’ segala.
“Oh iya, Steve, ini Kimmy sahabat dekatku,” Steve tidak membalas perkataan Sandra, ia hanya diam tersenyum simpul sambil melirikku.
“Steve? Kok gak kenalan sih…temanku cantikkan…udah pintar, baik, jago main tennis lagi..” aku segera membungkam mulut Sandra yang terlalu banyak bicara itu.
“San! Kamu apa-apaan sih!” bisikku keSandra. Sandra hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
***

“Kim, hari ini club tennis latihankan?” tanya Sandra
“Eh, iya San, kamu duluan aja?”
“Ya udah, aku duluan ya…bye…”
“Bye…”
Saat Sandra pergi, Cathy datang menghampiriku.
“Kim, maaf ya..kemarin aku gak datang kekarokean..soalnya aku ketiduran sampai-sampai aku lupa kalau kita ada janji..” astaga….ternyata dia enak-enakan tidur! Sementara aku, harus mengorbankan tidur siangku. Tapi…ya sudahlah.
“Iya, gak papa kok, Cath, aku latihan tennis dulu ya,”
“Oh, eh iya..”
***

Segala yang kualami kemarin dan tadi pagi, kulampiaskan saat bermain tennis. Untunglah membawa pengaruh yang positif dalam permainaku. Akhirnya….keinginanku untuk terpilih menjadi pemain tennis putri yang akan mengikuti pertandingan tennis antar sekolah mewakili sekolahku.
Ketika akan pulang, aku melewati gerbang sekolah, seseorang menyapaku dari belakang.
“Hei…!”
“Steve??” aku terkejut dan segera berbalik arah, berlari untuk mmenghindarinya. Tapi aku salah, dia lebih cepat dari yang kubayangkan.
“Kau mau melarikan diri seperti kemarin lagi ya?” dia menepuk bahuku.
“Melarikan diri?!” aku berusaha untuk tidak tahumenahu. Dia memberikan sesuatu. Hah? Ini kan sapu tanganku? Dari mana ia mendapatkannya?
“Kamu meninggalkan ini dibangku taman kemarin…” jadi…dia menungguku hanya untuk mengembalikan ini?
“Inikan belum terlalu sore, bagaimana kalau kamu menemaniku jalan? “
“Eh? Kenapa harus aku? Ajak aja Sandra,”
“Ya udah kalau kamu gak mau, kalau gitu aku duluan ya,” wah…sepertinya dia marah, lagipula..dia juga sudah mau mengembalikan sapu tanganku.
“Steve! Aku mau, tapi hanya sebentar ya, aku takut mamaku khawatir,”

“Oke..!” kami pun memulai jalan-jalan kami dengan pergi makan es cream. Aku sebelumnya tidak menyangka kalau Steve adalah orang yang menyenangkan, bahkan aku hampir tidak bisa berhenti tertawa melihat kelakuannya yang sedikit konyol itu. Hampir dua jam kami pergi, akupun mengajak Steve untuk pulang karena matahari sebentar lagi terbenam.
“Steve, pulang yuk,” ajakku
“Yuk,” saat perjalanan pulang, Steve banyak cerita mengenai keluarganya. Aku kagum dengannya, dia bisa setegar itu. Menerima kenyataan kalau mama yang kita sayangi sudah tiada…menurutku tidak mudah. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda dari Steve.
“Ini rumahku. Makasih ya sudah ngajakin aku jalan..” aku mengatakan ini dengan kepala menunduk, bahkan aku tidak berencana mengatakan ini.
“Seharusnya yang berterimakasih tuh aku. Oh iya, kapan-kapan bolehkan aku mampir kerumahmu? Kalau kamu mau bertemu denganku, datang aja kerumah Sandra, untuk sementara aku tinggal dirumahnya,” sifatnya yang terlalu percaya diri dan ‘kurang tahu malu’ itu membuatku kurang yakin kalau wajahnya cool dan setampan ini, tapi itulah Steve yang kukenal.
“Terserah kamu aja, aku masuk dulu ya,”
“Ya udah, aku pulang ya. Bye…”
“Bye…”
***

Kegiatan seharian ini membuatku lelah. Kurebahkan badanku ketempat tidur, membuatku sedikit rileks. Aku tidak sabar menanti datangnya hari pertandingan tennis itu tiba, tapi sebelum itu aku harus berlatih lebih keras dari sebelumnya.
Hari demi hari ku lewati dengan latihan yang keras. Pertandingan tinggal beberapa hari lagi, aku harus menjaga kesehatan dan mempersiapkan mentalku dari sekarang. Gara-gara sibuk latihan, akhir-akhir ini aku jadi jarang berteman dengan Sandra dan Steve. Setelah latihan, aku berencana untuk menemui mereka dikelas. Saat dikelas, tidak sengaja aku mendengar pembicaraan Cathy dan Steve.
“Steve, gimana kalau nanti sore kita jalan?” ajak Cathy
“Mmm…ide yang bagus, kita jalan kemana?” jawab Steve yang sesekali melihat kearahku.
“Makan di Café Launch gimana? Jam 3 ya?”
“Oke deh…”
Maksud Steve apa menerima ajakan Cathy? Kupikir Steve bukan playboy? Ah, sudahlah, aku tidak ingin berburuk sangka dengan Steve.
***

Kucoba untuk menutup mataku, beristirahat sejenak melepas rasa lelah. Entah kenapa ketika kututup mataku, yang muncul adalah wajah Steve. Aku tersentak, mengingat kalau Steve dan Cathy janji ketemuan sore ini. Aku langsung melirik arlojiku, hah! Hampir jam 3! Aku segera bersiap menjadi penguntit hari ini. Tidak lupa ku gunakan kacamata dan topi sebagai penyamaran. Dengan sepeda gunung, aku berusaha sampai tepat waktu ke Café Launch. Sepertinya, mereka belum datang. Karena terlalu kelelahan, aku sampai memesan jus apel dan duduk disalah satu meja. “Hah! Mereka datang!” aku hampir tersedak dan cepat-cepat menutupi wajahku dengan pura-pura membaca Koran. Sepertinya pembicaraan mereka asyik sekali, aku berusaha memfokuskan pendengaranku dengan apa yang mereka bicarakan. Sesekali

Steve sepertinya melihat kearahku, dengan segera ku sembunyikan lagi wajahku dibalik koran. Tiba-tiba seorang waiters memperingatkanku.
“Maaf mbak, korannya terbalik?” kata waiters itu,
“Eh, oh iya. Hehe” wajahku langsung memerah dan jadi salah tingkah. Oh tidak, jangan-jangan Steve tadi melihatku gara-gara koran ini. Sudahlah, aku harus tetap fokus. Tiba-tiba Steve menggenggam tangan Chika, mereka berdua terlihat sangat bahagia. “Jangan-jangan….mereka sudah..” aku tidak tahan lagi melihat mreka berdua seperti itu, aku tidak ingin air mataku menetes disini. Dengan lekas, aku menghampiri waiters dan membayar minuman ku. Dengan sekuat tenaga ku kayuh sepedaku agar lebih cepat sampai. Dirumah, pikiranku tidak menentu. Setiap aku berkedip, bayangan Steve dan Chika selalu muncul. Berjam-jam aku mengurung diri dikamar dan tertidur. Saat bangun, kantung mataku bengkak, aku terlhat kacau. Aku baru sadar, dengan yang ku lakukan ini tidak akan mengubah semuanya, mengubah Steve menjadi menyukaiku. Dia memang pantas untuk Cathy, cantik, tinggi, bahkan model disuatu majalah perusahaan swasta. Sangat berbeda denganku.
“Aku harus siap! 2 hari lagi!” kataku dengan suara lantang,
“Kim! Bisa kau kecilkan suaramu?!” kata papa yang sedang menonton televise,
“Maaf maaf..”
***

Hari ini adalah latihan terakhirku, aku harus melakukannya semaksimal mungkin. Ketika akan memukul bola, tidak sengaja aku melihat Steve lewat. Pandanganku tertuju padanya, ketika akan mendarat aku kehilangan konsentrasi dan keseimbangan.
“Bruukkk!!!” pelatih langsung berlari kearahku dan mencoba meluruskan kakiku yang terseleo.
“Kaki saya sudah baikan kok pak” kataku
“Tapi kamu yakin bisa bertanding besok?” pelatih mulai khawatir melihat kondisi kakiku yang mulai membiru.
“Bapak tenang saja, mama saya pandai memijat. Jadi saya yakin bisa bertanding besok,” aku berusaha menenangkan pelatih yang mulai panik. Aku tidak mungkin mundur lagi dari pertandingan, selain tidak ada pemain cadangan yang mengikuti latihan rutin sepertiku, pertadingan besok juga adalah saat-saat yang kutunggu. Ini semua salahku! Kenapa aku harus menyukai dan memikirkan seseorang yang tidak pernah menyukaiku bahkan memikirkanku. Aku berusaha bangun dan pulang kerumah setelah mendapat izin dari guru piket. Dengan tertatih-tatih aku berjalan menuju kelas untuk mengambil tas dilokerku. Tiba-tiba Sandra datang dan memperhatikan kakiku.
“Kim, kakimu kenapa?” tanya Sandra
“Cuma memar biasa..kamu gak usah khawatir San..” jawabku
Tiba-tiba Steve datang dan menghampiri kami berdua. Aku segera pergi tanpa menghirauan panggilaan Sandra yang bingung atas sikapku.
***

Hanya Tuhan yang bisa mengerti perasaanku saat ini. Kakiku akan terasa sangat sakit jika aku meloncat atau berlari. Tapi aku tidak peduli, berusaha untuk menutupi rasa sakit ini dari semua orang, bahkan dari diriku sendiri.
***

Akhirnya hari ini tiba juga, aku melakukan pemanasan dan berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa sakitku didepan semua orang. Sekolahku mendapat giliran tanding kedua. Aku duduk disamping pelatih dengan berusaha tenang melihat jalannya pertandingan pertama. Dari kejauhan aku juga bisa melihat Sandra, Steve, dan…Cathy. Sandra terlihat melaimbaikan tangannya kearahku, dia memang sahabat yang terbaik untukku.
“Kim? Kamu siapkan? Bagaimana kakimu?”
“Saya siap! Mmm…kaki saya yang memar kemarin sudah sembuh pak, ini?” kataku sambil memperlihatkan kaki yang dibalut dengan kain. Sebelum menuju lapangan, aku berdoa untuk Tuhan terlebih dulu, Ia yang menguatkanku sehingga aku bisa bertahan sampai saat ini. “Wah…lawanku sepertinya hebat, aku pasti bisa!” pertandingan pun dimulai dari sekarang, pada awalnya aku masih bisa menahan rasa sakit ini, skor menunjukkan 45-15, pertanda kami unggul untuk saat ini. Waktu pun terus berjalan, satu skor lagi, maka kami menang. Aku sudah tidak sanggup, kakiku seperti mau remuk. Aku harus bisa melompat dan melakukan pukulan terakhir. Aku hampir melakukannya, dan melakukannya! Tapi ketika mendarat pandanganku mulai kabur, kepalaku sakit, dan badanku sudah tidak bisa bangkit lagi. Petugas kesehatan datang dan menggotongku, yang bisa kulihat ketika aku di bawa oleh mereka hanya Steve. Ketika sadar, aku sudah berada dirumah sakit. Aku terkejut ketika melihat Steve ada disampingku.
“Kamu udah sadar?” ia mengatakan hal yang sama, dimana kami pertama kali bertemu.
“Steve? Kamu sedang apa disini?”
“Sst…kamu istirahat aja dulu, jangan ngomong macam-macam”
“Steve? Boleh tanya sesuatu gak?”
“Apa?”
“Cathy gak cemburu ya, lihat kamu disini jagain aku? Diakan pacar kamu..”
“Apa? Hahahahahaha, Kimmy..Kimmy..Cathy dan aku tuh Cuma temanan aja..”
“Lho…jadi yang waktu di Café…” eits…aku keceplosan…
“Aku tahu kok, kalau kamu ngikutin aku sama Cathy, aku sengaja ngelakuin ini. Aku mau tahu perasaan kamu ke aku yang sebenarnya. Aku suka sama kamu sejak kita jalan waktu itu…” Steve berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya dan mengungkapkan perasaannya.

Aku bingung harus bilang apa, ternyata selama ini aku salah menilainya.
“A….aku….juga” jawabku terbata-bata,
“Hah?! Yes…Terimakasih Tuhan…” Steve terlihat begitu senang setelah mendengar jawabanku. Tiba-tiba pelatih datang dengan raut wajah yang serius.
“Kim…kenapa dari awal kamu tidak jujur soal kakimu itu? Kalau saja kamu jujur, kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi?”
“Maaf pak..tapi saya tidak ingin membuat semua orang khawatir..”
“Tapi akibat dari ini, kaki kamu jadi korbannya!”
“Maksud pelatih?” Steve menanyakan sesuatu yang harusnya ditanyakan olehku.
“Ada bagian tulang kakinya yang patah, Kim tidak akan bisa berjalan untuk sementara waktu sampai kakinya sembuh total,”
“Tapi kita menangkan pak?” tanyaku
“Kamu ini, bukannya memikirkan kakimu tapi malah memikirkan yang lain. Ya, kita menang…tapi kita akan mengikuti pertandingan final 3 minggu lagi,”
“Selama saya masih bisa jalan, tidak ada yang perlu saya khawatirkan kan pak? Apakah kaki saya bisa sembuh dalam waktu 2 minggu pak?”
“Kamu memang keras kepala! Bisa, jika peri yang menyulapnya,” Steve langsung tertawa lepas ketika mendengar pelatih bicara.
“Steve?!” aku langsung melirik kearah Steve, dan itu membuatnya bisa sedikit diam.
“Tapi…keajaiban akan selalu ada kan pak? Asalkan kita mau berusaha,” kataku
“Terserah kamu Kim..tapi kamu harus cepat sembuh ya!” semangat pak pelatih sambil menepuk bahuku yang kemudian berlalu pergi. Steve tersenyum simpul, aku yakin bisa sembuh lebih cepat selama ada Steve dan Sandra yang selalu mendukungku^^.

Sumber : Christin N.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar