PELAPISAN SOSIAL.
PENGERTIAN
Pelapisan sosial atau
stratifikasi sosial (sosial stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan
para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik
antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial
merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam
masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap
lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah
tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang
ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa
tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max
Weber(1).
Terjadinya Stratifikasi Sosial
a. Terjadi Dengan Sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan
pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan
tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajan yang disusun sebelumnya
oleh masyarakat itu tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Pengakuan-pengakuan
terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya. Oleh karena sifatnya
yang tanpa disengaja inilah maka bentuk pelapisan dan dasar dari pelapisan itu
bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakatnya. Pada pelapisan yang
semacam ini maka kedudukan seseorang pada sesuatu strata atau pelapisan adalah
secara otomatis, misalnya karena usia tua, kepandaian yang lebih, orang yang
berbakat seni dan sebagainya.
b. Terjadi Dengan Disengaja
Sistem pelapisan yang disusun
dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Di dalam sistem
pelapisan ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya wewenang dan kekuasaan
yang diberikan kepada seseorang. Sehingga dalam hal wewenang dan kekuasaan ini
maka di dalam organisasi itu terdapat keteraturan sehingga jelas bagi setiap
orang berada pada tempatnya. Misalnya di dalam organisasi pemerintahan,
organisasi partai politik, perusahaan besar, perkumpulan-perkumpulan resmi, dan
lain-lain(2).
Kemudian adapun perbedaan sistem
pelapisan dalam masyarakat
1. Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan)
dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan
sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan
termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula
sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang
rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal,
benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya
dalam berbelanja.
2. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas
dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau
dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial
masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional,
biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada
masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi
luhur.
3. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering
dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi
dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu
pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan),
atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur,
doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering
timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang
tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak
orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar
kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan
seterusnya(1).
Teori pelapisan sosial
1. Sistem stratifikasi sosial
sering berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat.
2. Sistem stratifikasi sosial
dianaisis dalam ruang lingkup unsur-unsur;
a. Distribusi hak-hak istimewa
yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan, keselamatan, wewenang,
dan sebagainya
b. Sistem petanggaan yang
diciptakan warga-earga masyarakat (prestise dan penghargaan)
c. Kriterian sistem pertentangan,
yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok
kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan
d. Lambing-lambang kedudukan,
seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, kenaggotaan suatu
organisasi dan selanjutnya
e. Mudah sukarnya bertukar
kedudukan
f. Solidaritas diantara
individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang
sama dalam sistem sosial masyarakat
· Pola-pola
interaksi-interaksi(struktur clique, keanggotaan organisasi perkawinan dan
sebagainya)
· Kesamaan atau ketidaksamaan sistem
kepercayyaan, sikap dan nilai-nilai
· Kesadaran akan kedudukan
masing-masing
· Aktivitas sebagai organ aktif(3)
Adanya pelaspisan social memacu
untuk munculnya kesamaan derajat. Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah
diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah
sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya
universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa
manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya.
Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau
kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang
lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam paal-pasal
UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 2792) UUD 1945 menyatakan bahwa,
tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu(4).
Alinea Pertama Pembukaan Undang
Undang Dasar (UUD) 1945, menyebutkan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Secara khusus tidak ada penjelasan, apa sebetulnya makna kemerdekaan yang
dimaksud, dan bagaimanapula kaitannya dengan keadilan sosial yang menjadi
tujuan kita bernegara. Namun, tidak salah jika kita menafsirkan kemerdekaan
dalam arti yang luas, bahwa bukan saja kemerdekaan dari belenggu penjajahan
fisik tetapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan politik, hukum,
ekonomi, dan budaya.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945,
menyatakan pula bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Prinsip negara
hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di
hadapan hukum (equality before the law). Atas dasar itu, maka prinsipnya
ditentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sesuai
bunyi Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 Amandemen kedua. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kekecualian.
Melihat isi konstitusi di atas,
maka antara bantuan hukum dan negara mempunyai hubungan yang erat, apabila
bantuan hukum dipahami sebagai hak maka dipihak lain negara mempunyai kewajiban
untuk pemenuhan hak tersebut. Seperti yang disebutkan Pasal 34 ayat (1) UUD
1945, bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Artinya, negara jelas mengakui hak ekonomi, hukum, sosial, budaya, sipil dan
politik dari fakir miskin. Dalam kaitannya dengan bantuan hukum cuma-cuma untuk
rakyat miskin/fakir, maka tugas konstitusional negara ialah dengan membiayai
gerakan bantuan hukum (alokasi anggaran) sebagai wujud dari tanggung jawab
negara untuk melindungi nasib fakir miskin guna mengakses keadilan.
Budaya demokrasi Pancasila,
merupakan paham demokrasi yang berpedoman pada asas kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia,
dan yang bersama-sama menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Budaya demokrasi Pancasila mengakui adanya sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara.
Rumusan sila kelima Pancasila
sebagai dasar filsafat negara dan dasar politik negara yang di dalamnya
terkandung unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, dalam
perilaku budaya demokrasi yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari
dapat adalah hal-hal sebagai berikut :1. Menjunjung tinggi persamaan, Budaya
demokrasi Pancasila, mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki persamaan harkat
dan derajat dari sumber yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu, dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita mampu berbuat dan
bertindak untuk menghargai orang lain sebagai wujud kesadaran diri mau menerima
keberagaman di dalam masyarakat. Menjunjung tinggi persamaan, terkandung makna
bahwa kita mau berbagi dan terbuka menerima perbedaan pendapat, kritik dan
saran dari orang lain. 2. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, Setiap
manusia diberikan fitrah hak asasi dari Tuhan YME berupa hak hidup, hak kebebasan
dan hak untuk memiliki sesuatu. Penerapan hak-hak tersebut bukanlah sesuatu
yang mutlak tanpa batas. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada batas-batas yang
harus dihormati bersama berupa hak-hak yang dimiliki orang lain sebagai batasan
norma yang berlaku dan dipatuhi. Untuk itu, dalam upaya mewujudkan tatanan
kehidupan sehari-hari yang bertanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri, dan
orang lain, perlu diwujudkan perilaku yang mampu menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. 3. Membudayakan sikap bijak dan adil,
Salah satu perbuatan mulia yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain adalah mampu bersikap bijak
dan adil. Bijak dan adil dalam makna yang sederhana adalah perbuatan yang
benar-benar dilakukan penuh dengan perhitungan, mawas diri, mau memahami apa
yang dilakukan orang lain dan proporsional (tidak berat sebelah). Perlu bagi
kita di dalam masyarakat untuk senantiasa mengembangkan budaya bijak dan adil
dalam kerangka untuk mewujudkan kehidupan yang saling menghormati harkat dan
martabat orang lain, tidak diskrimanatif, terbuka dan menjaga persatuan dan
keutuhan lingkungan masyarakat sekitar.
Equality before the law berasal
dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas
Jefferson menyatakan bahwa “that all men are created equal” terutama dalam
kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep
Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan
tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air.
Ironisnya dalam prakteknya hukum
di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law tidak diterapkan
secara equal bahkan seringkali diabaikan, kepentingan kelompok tertentu lebih
mengedepan dibandingkan kepentingan publik.
Pengingkaran terhadap konsep ini
kian marak terjadi, sebagai ilustrasi, sebutlah misalnya kasus KPU (Suara Karya
2005) , dimana hanya Nazaruddin dan Mulyana W Kusumah yang dituntut di
pengadilan. Sementara mereka yang turut memutus pembagian kerja pengadaan
barang-barang keperluan pemilu dalam rapat paripurna KPU tidak diperlakukan
sama di hadapan hukum. Kalau begitu, bagaimana asas persamaan di hadapan hukum?
Padahal arti persamaan di hadapan hukum (equality before the law) adalah untuk
perkara (tindak pidana) yang sama. Dalam kenyataan, tidak ada perlakuan yang
sama (equal treatment), dan itu menyebabkan hak-hak individu dalam memperoleh
keadilan (access to justice) terabaikan. Perlakuan berbeda dalam perkara KPU,
karena ada yang tidak dituntut, menyebabkan pengabaian terhadap kebebasan
individu. Ini berarti, kepastian hukum terabaikan. Dalam konsep equality before
the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin sidang di pengadilan –
biasa disebut sebagai prinsip audi et alteram partem(5).
Kemudian dalam UUD 45 terdapat 4
pokok pasal yang menyangkut tentang hak asasi manusia.
Empat pokok hak-hak asasi dalam
empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Pada pasal 27 ayat 1
menetapkan bahwa:” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum
dan Pemerintahan dan Wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.”
2. Pada pasal 28 bahwa
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mngeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh Undang-Undang.”
3. Pada pasal 29 ayat 2 bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
4. Pada pasal 31: (1) “Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapat pengajaran” dan (2)”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu system pengajaran nasional, yang diatur dengan
undang-undang.”(6)
Dalam masyarakat tertentu ada
sebagian penduduk ikut terlibat dalam kepemimpinan, sebaliknya dalam masyarakat
tertentu penduduk tidak diikut sertakan. Dalam pengertian umumelite menunjukkan
sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti
lebih khusus lagi elite adalah sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang
tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan.
Dalam cara pemakaiannya yang
lebih umum elite dimaksudkan : “ posisi di dalam masyarakat di puncak struktur
struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi,
pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran, dan
pekerjaan-pekerjaan dinas.” Tipe masyarakat dan sifat kebudayaan sangat
menentukan watak elite. Dalam masyarakat industri watak elitnya berbeda sama
sekali dengan elite di dalam masyarakat primitive(4).
Fungsi elite dalam memegang
strategi
Pembedaan elite dalam memegang
strategi secara garis besar adalah sebagai berikut :
a. Elite politik (elite yang
berkuasa dalam mencapai tujuan).
b. Elite ekonomi, militer, diplomatik
dan cendekiawan (mereka yang berkuasa atau mempunyai pengaruh dalam bidang
itu).
c. Elite agama, filsuf, pendidik,
dan pemuka masyarakat.
d. Elite yang dapat memberikan
kebutuhan psikologis, seperti : artis, penulis, tokoh film, olahragawan dan tokoh
hiburan dan sebagainya.
Elite dari segala elite dapatlah
menjalankan fungsinya fungsinya dengan mengajak para elite pemegang strategi di
tiap bidangnya untuk bekerja sebaik-baiknya. Kecuali itu dimanapun juga para
elite pemegang strategi tersebut memiliki prinsip yang sama dalam menjalankan
fungsi pokok maupun fungsinya yang lain, seperti memberikan contoh tingkah laku
yang baik kepada masyarakatnya, mengkoordinir serta menciptakan yang harmonis
dalam berbagai kegiatan, fungsi pertahanan dan keamanan, meredakan konflik
sosial maupun fisik dan dapat melindungi masyarakatnya terhadap bahaya dari
luar.
Manusia di samping sebagai mahluk
pribadi juga sebagai mahluk sosial yang pada suatu waktu juga berhubungan
dengan manusia lain, terkadang juga tergabung dalam suatu kelompok baik
kelompok kumpulan orang-orang yang cukup besar maupun dalam suatu massa.
Massa (mass) atau crowd
adalah suatu bentuk kumpulan (collection)
individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam
kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa
berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.
a. Massa menurut Gustave Le Bon
(yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu
merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang
berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan
kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak
bola, orang melihat bioskop dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).
b. Massa menurut Mennicke (1948)
mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa
abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang
didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan,
persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir.
Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai
ciri-ciri:
1. Adanya ikatan batin, ini
dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan
sebagainya.
2. Adanya persamaan norma, ini
dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan
sebagainya.
3. Mempunyai struktur yang jelas,
di dalamnya telah ada pimpinan tertentu.
Antara massa absrak dan massa
konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat
berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit
bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa
adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat
disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti
ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan
bubar.
c. Massa menurut Park dan Burgess
(Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif
disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada
tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya.
Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk
menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience(7).
Dari uraian dia atas menurut saya
bahwa pelapisan social itu merupakan sesuatu yang sudah menetap dalam
masyarakat. Tak dipungkiri bahwa masyarakat akan bergaul dengan kelompok
pelapisan sosial tertentu. Hal ini sangat tidak baik dalam proses social karena
akan memecah persatuan dan keharmonisan dalam masyarakat. Kemudian munculah
peraturan-paraturan yang menuju pada persamaan hak untuk semua lapisan-lapisan
social tersebut. Dalam perkembangannya pelapisan social ini pun mencipptakan
kelompok-kelopok elite tertentu.. Kelompok ini dianggap sebagai kasta tertinggi
dalam masyarakat. Kelompok ini lebih banyak menjadi penggerak di antara
pelapisan kelompok social yang lain. Sehingga kehadirannya mampu mempercepat
jalannya suatu proses. Tapi sisi negatifnya adalah kelompok ini pun dapat
menyebabkan masalah yang lebih dari pelapisan social yang lain. Misalnya kasus
korupsi yang dilakukan oleh kelompok elite yang memiliki kekuasaan. Selain
kelompok elite, salah satu penggerak dalam suatu masyarakat adalah massa. Misalnya
massa mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan orde baru.
—————————————————————
1. Wikipedia. Strstifikasi
Sosial. http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial
2. USU. Stratifikasi Sosial DI
Dalam Masyarakat.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1523/1/tatanegara-mirza3.pdf
3. UPI. Perbedaan Sistem
Pelapisan dalam Masyarakat. http://tinyurl.com/27qjuqf
4. Mercubuana. Kesamaan Derajat. http://journal.mercubuana.ac.id/data/ISD-6.doc
5. Hoiriyah. Hukum dan HAM. http://forum.hukum-umm.info/index.php?action=printpage;topic=355.0
6. -. Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945.http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22
7. Faizun&Laili Nur Faizah.
Makalah Psikologi Sosial. http://www.mizan-poenya.co.cc/2010/08/makalah-psikologi-sosial.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar